Minggu, 20 April 2008


Pangan dan peledakan yang diremehkan

Berbagai permasalahan yang dihadapi berbagai Negara berkembang seperti : krisis energi ; krisis ekonomi/ keuangan; pemanasan global dengan berbagai kompleksitasnya seperti perubahan iklim,bencana,epidemi penyakit ; disharmoni sistem perdagangan global maupun masalah politik kekuasaan maka masalah pangan banyak negara diambang krisis dan kritis dengan lonjakan harga dan kelangkaannya. Perkembangan penduduk yang tumbuh secara alami tanpa adanya pengekangan ( check ) secara intensif melalui program program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan kependudukan serta perhatian serius
dalam anggaran dan program untuk produksi pertanian maka akan mengalami kerawanan serius dalam ketahanan pangan

Pengantar
Prediksi tentang ketidakselarasan penyediaan pangan dan pertumbuhan penduduk telah jauh dipikirkan sejak abad 17 melalui “An essay on the principle of population as it effects future improvement of society” oleh Thomas R.Malthus , dimana kekuatan manusia / penduduk untuk berregenerasi yang lebih besar daripada kesanggupan bumi untuk menyediakan kebutuhan pangan. Manusia berkembang seperti tidak terputus banyaknya jika tidak terkekang atau faktor faktor yang menekan dalam versi teori perkembangan penduduk (check to population). Baik yang bersifat langsung (Ultimate check) atau kekurangan pangan karena penduduk tak terkendali, secara tidak langsung (Immediate Check) akibat perubahan pola kehidupan sosial ekonomi ,epidemi, dan kesengsaraan.

Paham Optimistik Vs Pesimistik :
Pandangan yang bersifat optimistis tentang kekhawatiran kemampuan alam dan manusia dalam penyediaan pangan merupakan pandangan yang berasal dari teoritikus Fisiologi/alami dengan tokoh tokoh seperti John Stuart Mill;Sandler; Doubleday; dan Spencer.(Week,1992).dan teoritikus Keadaan Sosial Ekonomi dengan tokoh Nassau W.Senior; Karl Marx; Archibald Allison (Iskandar,1997) dimana secara alami terjadi keseimbangan antara ketersedian pangan dengan kemampuan alam dan manusia seperti keseimbangan ekokosistem, adanya kemajuan dan perkembangan secara sosial kultural dan ekonomi manusia berupa penemuan teknologi industri pertanian, rekayasa genetika/transgenik, bioteknologi maupun perubahan perubahan dalam pola pikir norma kehidupan klas. Menurut Engels (Week,1992)setiap formasi sosial dalam kurun sejarah tertentu mempunyai hukum reproduksi biologi tertentu, atau secara umum bahwa fenomena kependudukan ini bersifat relatif karena juga berkaitan dengan kapitalisasi pertanian, industri dan emigrasi atau berkaitan dengan perubahan klas sosial. Secara klasik pandangan tentang tentang fertilitas dalam lingkup sosial tergolong dalam golongan dimana individu dalam ndividu tidak memperoleh keuntungan secara ekonomis bila membatasi fertilitas (economically unrestricted fertility )
Menurut Marx (Week.1992)teori Malthus bersifat abstrak, mengabaikan faktor seperti perkembangan kekuatan produktif dalam pengolahan lahan untuk menghasilkan pangan. Malthus juga mengabaikan latar kelas sosial sebagai faktor pengaruh tingkat kelahiran dan tingkat kematian. Dorongan sex bersifat biologis dan berlaku sepanjang masa, tetapi pelembagaan saluran dorongan ini tidaklah biologis. Setiap masyarakat dengan latar modal produksi tertentu dan dalam rentang masa tertentu akan mempunyai mekanisme kependudukan yang berbeda.
Kritik terhadap Teori Malthus didasari adanya perbaikan teknologi pertanian (pupuk buatan, pestisida, irigasi, dan mekanisasi), penemuan baru dalam keunggulan teknologi industrialisasi yang mempunyai dampak peningkatan taraf hidup. penggunaan alat kontrasepsi, dan kemajuan transportasi dan perdagangan yang dapat menunjang perpindahan barang maupun emigrasi.
Faham Neo Malthusian (pengikut pemikiran Malthus gaya baru) yang cenderung pesimistik dan kurang peduli terhadap kemampuan manusia untuk menemukan dan mengembangkan teknologi baru, dimana contoh faham Neo Malthusian dapat ditemui pada karya karya klasik Limits to Growth ( Meadows 1972); Small is Beautiful karya Schumacher (1973); dan lainnya. Dalam versi sistem per ekonomian yang diistilahkan Kenneth Boulding (1966) sebagai Spaceman Economic ( ekonomi astronot) yang menunjuk pada sistem per ekonomian yang benar benar sangat memperhatikan kelestarian sumber daya alam langka yang dimiliki. Seorang astronut yang hidup dalam capsul pesawat akan mempergunakan sumber daya yang dibawanya sesuai kebutuhan hingga sampai bumi. Menurutnya manusia hidup di bumi hanya pada masa tertentu saja, sehingga sistem moral manapun akan selalu mengajarkan untuk berlaku bijaksana terhadap lingkungan hidup dan mewariskan pada generasi mendatang dalam keadaan minimal sama, syukur jika lebih baik walaupun mungkin mustahil.
Sisi ekstrem lain ekonomi Spaceman adalah Cowboy economy bagi suatu sistem perekonomian yang terus menerus ekspansif dan ekstraktif terhadap sumber daya alam yang langka ini. Sistem budaya koboi adalah budaya yang tanpa batas (endless frontier), makin lama makin merambah habitat yang sudah dikuasai penduduk asli (Native Americans) atau suku Indian, selama bertahun tahun serta turun temurun.

Peledakan yang diremehkan :
PBB meramalkan secara akurat bahwa penduduk dunia akan terus bertambah paling tidak sampai akhir abad 21 dengan jumlah penduduk 10 milyar ,sehingga prolem penduduk semakin pelik. Tahun: 1804 jumlah penduduk 1 milyar pada tahun: 1927 (waktu 123 tahun) jumlah penduduk 2 milyar . tahun 1960 menjadi 4 milyar (waktu 33 tahun); menuju tahun 1987 penduduk 5 milyar (waktu 27 tahun) dan menuju tahun 1999 menjadi 6 milyar. Dalam 12 tahun penduduk dunia akan bertambah 1 milyar, dimana penambahan penduduk tersebut memerlukan interval waktu lebih pendek dan banyak manusia yang tidak menyadari. Diprediksi tahun 2015 jumlah penduduk mencapai 7 milyar lebih, tahun 2025 jumlah mencapai 8 milyar lebih.(Republika,1999) Hal ini membuat semua masalah jauh lebih sulit. Bahkan mungkin akan timbul masalah masalah baru yang sekarang tidak terbayangkan, akibat jumlah manusia yang begitu besar di atas planit yang semakin merosot kondisinya .
Jika perkembangan teknologi tetap timpang dan tidak merata seperti sekarang, penduduk negara negara berkembang akan jauh ketinggalan dalam menggali kekayaan alam dan jika benar kekayaan bumi yang belum tergali ada dilautan, maka penduduk negara berkembang akan paling kurang mampu menggali kekayaan itu.
Implikasinya sungguh jauh. Hal ini bukannya tidak diinsyafi oleh manusia sekarang. Tetapi karena masalah akut lebih dirasakan, saat ini manusia terbenam pada masalah ekonomi, politik, bisnis serta konflik konflik kepentingan dalam era globalisasi perdagangan; krisis energi maupun berbagai wabah, dan belum lagi tentang masalah pemanasan global. Sepertinya gambaran kurang menyenangkan mengenai demografi dunia tidak mendapatkan tanggapan lebih serius dari para pemegang keputusan dibidang politik dan ekonomi dunia, bahkan diremehkan. Padahal semua krisis dunia tersebut berpangkal pada persoalan pesatnya perkembangan penduduk, tragisnya dari jumlah pertambahan penduduk yang besar tersebut 80 % berada dinegara negara bekembang dan negara miskin menurut UNFPA (badan kependudukan PBB). Dilain pihak komitmen terhadap program KB sepertinya mengendur dibandingkan pada pariode pemerintahan orde baru. Sejak era desentralisasi sekitar 70 % institusi Keluarga Berencana di kota dan di kabupaten dilebur dengan instansi lain serta jumlah tenaga pembinanya di desa berkurang. Pada era reformasi program KB tidak seintensif pada era orde baru. Kurang terfasilitasinya penduduk melakukan pembatasan kelahiran yang akan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan itu umumnya berasal dari kelahiran yang tidak diinginkan (unwanted child). Pelaksanaan Program KB di era otonomi daerah pada setiap kabupatan /kota menentukan kebijakan sendiri. Umumnya kepala daerah lebih memprioritaskan pembangunan fisik yang lebih mudah dan cepat terlihat hasilnya.Selain itu anggaran pada masa sebelum otonomi banyak didukung oleh bantuan luar negeri saai ini bantuan luar negeri bergeser ke masalah HIV/AIDS.

Krisis Pangan
Protes dan kerusuhan akibat harga pangan yang tinggi terjadi pada akhir tahun 2007 dibanyak sudut dunia, yang kini menjadi sangat serius. Dirjen FAO Jacques Diouf (Jawa Pos,9/4 /2008) menyatakan: kerusuhan di Mesir, Kamerun, Haiti akibat harga pangan tinggi. Potensi kerusuhan juga ada di kawasan dunia lainnya. Di Indonesia juga terjadi akibat krisis pangan tersebut meskipun tidak semasif di beberapa negara tersebut, walau banyak kasus terjadinya kekurangan gizi /gizi buruk pada lapisan masyarakat lapisan bawah. Lonjakan harga pangan juga memicu demonstrasi di Argentina, kerusuhan di Kamerun, Maroko dan Pantai Gading. Bank Dunia memperkirakan 33 negara dari Meksiko hingga Yaman, bisa dilanda kerusuhan sosial akibat lonjakan harga pangan dan biaya energi. Dari berbagai kajian beberapa bulan terakhir ini, gejala yang mengarah pada krisis pangan semakin menguat disamping minyak. Dunia akan menghadapi krisis pangan global. Itulah yang dikatakan pejabat senior Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kevin Cleaver setelah bertemu Presiden Filipina Gloria M. Arroyo di Manila (Jawa Pos12/4./2008) dimana Filipina merupakan negara yang mengalami krisis pangan cukup parah akhir-akhir ini. Institut Penelitian Beras Internasional pun memperingatkan ,harga beras memang akan terus melambung, sebagai akibat banyak terjadinya gagal panen dibeberapa wilayah, sedangkan permintaan terus bertambah.
Krisis Global yang terjadi bukan harga minyak yang meroket diatas $100/ barrel melainkan karena ketersediaan pangan (Santosa, 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa krisis hampir selalu menghasilkan pemenang. Sayang krisis pangan kali ini pemenangnya bukan petani negara berkembang, tetapi petani kaya di negara maju, investor dan pemain di bursa saham serta perusahaan multinasional. Tidak ada dasar kuat untuk menyatakan, lonjakan harga pangan seperti saat ini akan menguntungkan petani. Sebagian besar petani kita memiliki lahan kurang dari 0,25Ha dan proporsi yang cukup besar diantaranya adalah buruh tani yang tidak berlahan. Kelompok petani berlahan sempit dan buruh tani itu justru akan menderita dampak terbesar karena sekitar 60 persen pendapatan mereka dibelanjakan untuk pangan. Disamping itu belum lagi permasalahan bencana alam serta banjir yang cukup memporak porandakan panen yang akan diperoleh.Selain penurunan produksi, harga beras dunia saat ini juga tinggi, melebihi harga dalam negeri. Beberapa negara yang surplus beras, seperti China, enggan menjual beras mereka ke pasar dunia. Akibatnya, impor beras sulit dilakukan. Padahal kebutuhan beras di Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta, sangat besar. Kondisi ini membuat kemungkinan terjadinya kekurangan pangan di Indonesia menjadi lebih besar, walau dalam jangka pendek ini masih diklaim dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
Dalam fakta adanya data ketergantungan negara Negara berkembang terhadap import pangan dari negara maju meningkat tajam dalam 25 tahun terakhir. Ketergantungan terhadap perdagangan pangan internasional dari waktu kewaktu kian kuat..Indonesia
Untuk menutupi kebutuhan pangan mengimpor 5-10 persen dari total kebutuhan pangannya ( Suman ,2008)
Riset Center for Global Development menunjukkan perubahan iklim menyebabkan produksi pangan global menurun 5 hingga 20 persen pada tahun 2080. Penurunan lebih drastis akan terjadi di beberapa negara. ”India mungkin akan melihat penurunan 30 persen hingga 40 persen, sementara Afrika dan Amerika Latin 20 persen, menurut penulis studi William Cline.(voanews,2007)
Sebenarnya beberapa upaya melindungi petani seperti “mengindustrialisasikan” pertanian akhir akhir ini semakin menguat. Pemerintah mengimport benih dari luar negeri dan mengundang pengusaha besar, baik nasional maupun internasional ,untuk masuk ke bidang pertanian pangan yang selama ini menjadi wilayah “kaum tani”. Istilah rice estate, hibrida, agrotek, bioteknologi, dan transgenik diasumsikan banyak pihak sebagai jawaban atas kristis pangan. Pada pertemuan tahunan investasi dunia ke 14 di Empire Club bulan Januari 2008 dinyatakan sama, yaitu pemupukkan, penggunaan benih rekayasa genetika, mesin pertanian yang lebih canggih, dan teknologi (pestisida dan herbisida). Disisi lain untuk usaha percepatan pertumbuhan ekonomi dengan upaya menciptakan lapangan kerja melalui korporasi asing masih tidak menyelesaikan pengangguran dan menjamin teratasinya kemiskinan. Pada sisi lain, investasi asing yang ditanamkan lebih cenderung pada teknologi tinggi/padat modal yang membutuhkan sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan tinggi dan dinegara berkembang pencari kerja masih banyak yang mempunyai ketrampilan rendah .
Keterpurukan sejumlah negara negara diberbagai belahan bumi , menjadikan PBB untuk memprakarsai para kepala pemerintahan untuk menandatangani Pembangunan Milinium (Millenium Development Goals/ MDGs) beberapa waktu yang lalu untuk usaha menyelamatkan bangsa (save nation) dalam mengatasi berbagai krisis. Delapan tujuan dari MDGs yang terdiri 3 tujuan yang terkait dengan kelangsungan hidup (penurunan kematian ibu & anak, memerangi HIV/AIDS serta malaria). Sedangkan 5 tujuan secara langsung bertalian dengan kelangsungan hidup seperti penurunan kemiskinan, pendidikan, kesetaraan gender, pemberdayaan wanita, kelestarian dan kerjasama global (Kompas,18/9/2005) namun, kesuksesan capaian MDGs itu dapat menimbulkan efek samping, yakni meningkatkan pertumbuhan penduduk. Ini terjadi karena tujuan yang tercantum didalamnya hanya menekankan pada upaya kelangsungan hidup, tanpa perpesktif pengendalian pernduduk .
Dalam krisis pangan ini konsep yang saat ini dianut oleh hampir semua negara didunia adalah ketahanan pangan, kemudian menjadi “kuda Troya” kapitalisasi sistem pangan global. Ketika perlahan lahan penguasaan pertanian pangan beralih dari petani ke pemodal kuat, kisah “harga minyak” akan terulang. Harga akan dimainkan dan ditentukan oleh kartel besar untuk mendulang keuntungan sebesar besarnya, sedangkan petani akan semakin diimpit dan didera kemiskinan yang berkepanjangan. (Santosa, 2008)
Krisis juga berarti tantangan dan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan petani di masa depan. Nada-nada indah yang dikemas dalam kata-kata diversifikasi pangan, penghargaan terhadap pangan lokal, perlindungan petani, konservasi keanekaragaman hayati pertanian, pertanian yang berkelanjutan dan reformasi agraria hanya menjadi sesuatu yang enak untuk didengar, tetapi tidak pernah dilaksanakan.
Keberadaan pangan tergantung pasar internasional, disamping produksi pangan, luas lahan juga tata niaga pangan global, dengan serangkaian perjanjian-perjanjian dagang oleh negara negara maju untuk membuka pasar, tetapi dilain pihak juga memberikan subsidi untuk memproteksi sektor pertaniannya dan semakin membuat ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara negara maju, serta diperparah dengan semakin melambungnya harga minyak dunia.
Dalam mazhab ekonomi yang mendambakan rezim perdagangan bebas, menghasilkan pembagian kerja. Visi tercapainya efisiensi produksi seringkali tak tercapai. Masalahnya banyak negara maju cenderung memaksa negara lain untuk membuka pasarnya, tetapi tak bersedia membuka diri terhadap produk negara berkembang dengan berbagai cara dan isu tentang produk asal negara berkembang. Hal ini yang membuat WTO masih mengalami kebuntuan hingga sekarang soal liberalisasi perdagangan, dan adanya semacam neokolonialisme lewat perdagangan.
Demikian juga arah kebijakkan pemerintah negara negara Asia sendiri yang juga semakin berpihak kepada industrialisasi ,sementara sebagian besar masyarakat Asia adalah para pelaku pertanian. Ketua Komisi Perdagangan Uni Eropa Peter Mandelson (Kompas,02/4 2008) di Brussels mengatakan perlunya kerjasama dibidang perdagangan antara UE dan negara negara di Afrika Karibia dan Pasifik untuk membantu kenaikan produksi pangan. ”Para produsen pangan seharusnya menghindari pembatasan atau pelarangan eksport. Hal itu tak sejalan dengan kecenderungan yang ada, dimana semakin banyak penduduk memerlukan pangan.” Dihadapan Komisi Perdagangan Parlemen Eropa. Negara negara berkembang akan menghadapi resiko proteksionisme, yang akan memperburuk persediaan pangan. Disisi lain, negara berkembang telah berusaha menghalangi eksport mereka sendiri. Beberapa negara berkembang telah mengambil keputusan untuk melarang ekspor agar komoditas pangan mereka terpenuhi untuk meredakan kenaikan harga pangan dengan mengejar ilusi ketahanan pangan, kebijakan seperti ini justru menghambat produksi domestik.
Kesimpulan
Dalam prediksi Malthus telah tersirat bahwa berbagai persoalan yang timbul dalam planet bumi ini menyangkut berbagai tingkah dan tindakan-tindakan manusia yang tidak bisa mengendalikan diri dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya tanpa batas dan tidak terpuaskan serta regenerasi yang tak terkendali. Gaya hidup yang enggan berubah, konsumsi bahan bakar fosil yang menggila, dan aktivitas alih fungsi lahan yang meruyak menjadi pemicu potensial pemanasan global.. Kenaikkan suhu bumi akan membawa dampak ikutan luar biasa, yang tidak satu pun sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup terbebas darinya. Produksi pangan mau tidak mau akan menjadi persoalan penting yang akan dihadapi, karena ketersediaan air hama penyakit, bencana alam akan menjadi ancaman yang serius bagi umat manusia diplanet bumi ini .
Krisis pangan berarti tantangan dan kesempatan bagaimana memperbaiki kehidupan petani dimasa depan , penghargaan terhadap pangan lokal .perlindungan petani ,konservasi keanekaragaman hayati dan reformasi agraria. , maupun tindakan secara structural yang berkaitan dengan usaha kearah ketahanan pangan ( pembangunan irisgasi, perbaikan infra struktur pedesaan, diversifikasi pangan),tata niaga pangan dan hal ini tidak saja usaha untuk mencapai ketahanan pangan tetapi kedaulatan pangan sendiri nampaknya perlu dimulai sejalan dengan program program kependudukan yang berkelanjutan .yang lebih serius.
If you dig very deep into any problems you will get a people ( J.Watson,1966 ) , Apabila menggali jauh kedalam setiap masalah , akan menemukan “orang -orang “Maka masalah orang / manusia sebagai akar penyebab berbagai persoalan perlu mendapat perhatian termasuk dalam hal pembatasan regenerasinya.













Tidak ada komentar: